Rabu, 13 Maret 2013


SUKU TIDORE

1.1  ASAL MULA SEJARAH SUKU TIDORE



Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat digugusan kepulauan Maluku.  Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api, bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku yang mereka namakan gunung Marijang.
Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, “aku telah sampai” dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore yang berarti “kamu datang”. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan. Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan.
Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskansecara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore.
Noh kemudian mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. dari perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati (pendiri kerajaan Tidore), Darajati, (Pendiri kesultanan Moti), Kaicil Buka (Pendiri kesultanan Makian), Bab Mansur Malamo, (Pendiri kesultanan Ternate).
Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi (yang menurunkan raja-raja Banggai), Boki Sadarnawi (yang menurunkan raja-raja Tobungku), Boki Sagarnawi (yang menurunkan raja-raja Loloda), dan Boki Cita Dewi (yang menurunkan Marsaoli dan Mardike). Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk KieRaha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.

Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak  bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang
sama : Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makiandan Moti), sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul. Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itu pun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibungaini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan ada pula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore
selatan.
Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertamayang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan  dengan Ternate dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beranekaragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (JouKota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini. Pada abad ke-16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku termasuk Tidore untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.

Sepeniggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama yaitu ; memonopolidan, menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membu ahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis.
Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono. Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.


1.2  BAHASA SUKU TIDORE

Suku Tidore dengan populasi 26.000 berdiam di pulau Tidore. Pulau ini merupakan salah satu pulau dari banyak  pulau di kepulauan Maluku. Secara administratif, pulau Tidore termasuk ke dalam wilayah kabupaten Halmahera Tengah, propinsi Maluku. Dengan Soa-siu sebagai kota kecamatan yang di dalamnya tinggal berbagai etnis. Sedangkan mayoritas penduduk di desa-desa adalah orang-orang Tidore asli. Diketahui telah ada 20 orang yang percaya Tuhan Yesus dari suku Tidore. Penduduk Maluku terdiri dari bermacam-macam suku yang diindikasikan dalam bahasa lokal yang masih aktif berjumlah 117 bahasa, dari jumlah yang pernah ada sebanyak 130-an bahasa lokal. Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah /dola bololo/ (semacam peribahasa atau pantun kilat), /dalil tifa/ (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), /kabata/ (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb).
Sebagian di antara sastra lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sastra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual. Di samping itu mereka juga dapat mengerti bahasa Ternate yang sejak lama menjadi lingua france di kawasan Halmahera.
Para pengamat kebudayaan pernah membagi wilayah Maluku Utara dan Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah kebudayaan. Daerah-daerah tersebut adalah daerah kebudayaan Ternate, daerah kebudayaan Tidore dan daerah kebudayaan Bacan. Daerah kebudayaan Tidore sendiri mencakup kepulauan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.

Berikut adalah contoh kosa kata suku tidore :


1.3  SISTEM MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok-tanam, nelayan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Berbagai jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala, kelapa dan coklat adalah jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas andalan yang menjadi ciri kepulauan Maluku. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.


1.4  ORGANISASI SOSIAL


Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah.
  •  Periode Pemerintahan
Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M. Setelah itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  •  Struktur Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan. Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut /Syara, adat se nakudi/. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada /Joujau/ (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari /Bobato pehak raha/ (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah: (1) /pehak labe/, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2)/pehak/ adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusandalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) /Pehak Kompania/ (bidang pertahanankeamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa; (4) /pehak/ juru tulisyang dipimpin oleh seorang berpangkat /Tullamo/ (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada/Sadaha/ (kepala rumah tangga), /Sowohi Kie/ (protokoler kerajaan bidang kerohanian),/Sowohi Cina/ (protokoler khusus urusan orang Cina), /Fomanyira Ngare/ (/public relation/kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti /Gonone /yang membidangi intelijen dan /Serang oli/ yang membidangiurusan propaganda.

  •  Wilayah Kekuasaan
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luashingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagianwilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di KepulauanPasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu,Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yangmasih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.

  •  Keturunan
Sistem garis keturunan pada suku Tidore berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satukelompok kekerabatan yang penting adalah marga patrilineal, yang mereka sebut soa.Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adatmenetap bagi pasangan sesudah menikah bersifat utrolokal. Dalam adat ini pasangan pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungankerabat istri. Suku Tidore umumnya merupakan pemeluk agama Islam. Tidore pernah menjadisatu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan salah satu pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang tampak bahwamereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling tidak sebuahmesjid atau surau. Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin informalmasyarakaat Tidore. Wilayah kepulauan Maluku adalah daerah yang kaya akan sumber alam,terutama kekayaan maritim. Walaupun demikian di daerah ini masih terdapat banyak desamiskin atau tertinggal. Diperlukan usaha-usaha guna meningkatkan hasil pertanian, perikanandan penambahan sarana dan tenaga medis.



1.5 KESENIAN

  • Musik
Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang, yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja, dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang). Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji. Musik lainnya ialah Sawat.
Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling, yang mencirikan alat musik gurun pasir. Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi. Sejak dahulu pun, mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak ayal bila sekarang, terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda seperti Broery Pesoelima dan Harvey Malaihollo. Belum lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo serta penyanyi-penyanyimuda berbakat seperti Glen Fredly, Ello Tahitu dan Moluccas.

  • Tarian
Tari yang terkenal adalah Tari Cakelele yang menggambarkan Tari perang. Tari ini biasanyadiperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai). Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang sangat menarik. Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas,  guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang. Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua maupun muda.


1.6 SISTEM RELIGI


Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan Kekristenan, dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Seiring dengan masuknya colonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore. Tidore pernah menjadi satu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan salah satu pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang tampak bahwa mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling tidak sebuah mesjid atau surau.
        Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin informal masyarakat Tidore. Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam dikawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka : /Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah/ (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut /soa/. Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara /Legu Gam Adat Negeri/, upacara /Lufu Kie daera se Toloku/ (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara /Ngam Fugo/, /Dola Gumi, JokoHale/ dan sebagainya.

Tradisi Hari Raya Idul Adha


Setiap hari ke sepuluh bulan Djulhijah, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Hari Raya Idul Adha atau disebut Idul Qurban. Setiap kali perayaan Idul Adha, ada sebuah tradisi unik dan menarik di masyarakat Negeri (desa) Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Ratusan pria, mulai dari anak-anak yang baru beranjak remaja hingga orang dewasa berlari-lari dan berlompatan, saling injak hanya demi bisa memegang sebuah bendera. Sebagian dari mereka bahkan tanpa rasa takut mencari tempat yang tinggi dengan menaiki pagar maupun atap rumah dan kemudian melompat ke tengah-tengah kerumunan massa, semata-mata ingin mencapai bendera yang diperebutkan tadi. Sementara itu, sekelompok pemuda lainnya menusuk-nusuk dadanya sendiri dengan paku besar yang berbentuk semacam mata tombak hingga berdarah-darah. Mereka yang melakukan ini adalah kelompok lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit yakni tidak lebih dari 20 orang.

Kedua peristiwa ini adalah gambaran dari atraksi abda’u dan dabus. Para pelakunya mengaku, saat memperagakannya mereka tidak merasakan sakit. Atraksi yang bisa menimbulkan rasa nyilu bagi penontonnya itu dilakukan masyarakat Tulehu, saat perayaan Idul Adha. Sudah menjadi tradisi masyarakat Tulehu, setiap tahun saat Idul Adha melakukan kegiatan bernuansa religius maupun adat yang dipusatkan di depan Mesjid Jamie Tulehu. Selain kedua atraksi tadi, sejumlah atraksi lain juga menyemarakkan suasana perayaan Idul Adha di desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu. Ribuan warga Tulehu maupun dari negeri-negeri tetangga dan masyarakat Ambon berdatangan memenuhi desa yang berjarak 24 kilometer dari Kota Ambon. Tujuan kedatangan mereka tidak lain ingin menyaksikan ritual tahunan masyarakat Tulehu saat Idul Adha. Acara diawali dengan penjemputan Raja Negeri Tulehu oleh pasukan abda’u di kediaman raja. Saat penjemputan tersebut, raja memberikan petuah kepada segenap pemuda yang akan menjadi pasukan abda’u untuk mengingatkan kembali makna dari perayaan yang telah dilakukan sejak beratus tahun yang lalu di negeri mereka.“Abda’u merupakan tradisi tahunan Negeri Tulehu yang sangat kental akan nuansa agama, dan tradisi ini harus terus kita peliara,” kata Raja Tulehu Jhon Ohorella. Usai memberikan petuah, raja bersama imam mesjid Tulehu kemudian menyerahkan bendera berwarna hijau bertuliskan kalimat tauhid kepada pasukan abda’u. Bendera ini setiap hari terpampang di mimbar Mesjid Jamie Tulehu, dan hanya keluar saat abda’u.
Bendera ini yang akan direbutkan pasukan abda’u saat atraksi nanti. Raja bersama imam masjid kemudian di kawal pasukan abda’u, berjalan menuju panggung utama yang telah dinanti sejumlah pejabat daerah baik dari provinsi maupun kabupaten. Serangkaian acara peringatan Idul Adha dilakukan, diisi dengan pawai karnaval menghadirkan berbagai atraksi budaya dan agama. Selain menampilkan atraksi abda’u dan dabus, berbagai atraksi lain juga meramaikan diantaranya, rombongan penari dan penyanyi hadrat, tari Patimura (tarian perang perjuangan Kapitan Patimura), atraksi bambu gila, atraksi ilmu kebathinan (alfitrah) yang diperagakan sekelompok pemuda memerankan tokoh wali songo, serta drama siswa sekolah dasar yang menceritakan keteguhan Nabi Ismail saat akan dikorbankan ayahnya Nabi Ibrahim atas petunjuk Allah, namun akhirnya diganti dengan seekor domba. Pawai karnaval ini menyusuriruas jalan kampung sekitar 700 meter. Usai pawai karnaval, pasukan abda’u kemudian bergegas menuju belakang Masjid JamieTulehu. Di tempat itu kemudian dilakukan penyembelian tiga ekor kambing yang turut dibawa serta dalam pawai. Darah hasil penyembelian kambing diperebutkan pasukan abda’udan dilumuri di sekujur tubuh mereka karena diyakini bisa menghilangkan rasa sakit dan capek setelah melakukan abda’u. Sebagian besar dari mereka juga yakin, darah kambing itu bisa membuat tubuh mereka bertambah kuat. Karena terbatasnya darah kambing, ratusan orang yang menjadi peserta abda’u saling rebut demi mendapatnya. Saking terbatasnya, sampai-sampai kain putih yang dipakai selama abda’u dilumuri darah untuk kemudian diusap ke tubuh dan wajah mereka secara bergantian dengan rekan mereka yang lain. Menurut tokoh masyarakat Tulehu Mochtar Ohorella (60), abda’u adalah atraksi pemuda yang menceritakan sejarah kemenangan Islam saat mengalahkan tentara Kafir Qurais di tanah Arab. Para pemuda yang melompat-lompat dan berusaha memegang bendera bertuliskan kalimat tauhid itu menggambarkan mereka sedang bersuka cita setelah memperoleh kemenangan.
Meskipun saat ini tidak ada penjelasan resmi asal muasal abda’u, namun tradisi ini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Tulehu saat merayakan Idul Adha. Sedangkan atraksidabus, masih menurut Sandia, merupakan tradisi kaum Syiah di Iran yang diadopsi oleh sebagian masyarakat muslim di Maluku. Di Maluku sendiri, lanjut dia, tradisi dabus dibawa dari Kerajaan Islam Tidore di Maluku Utara. Saat perlawanan Sutan Nuku melawan Belanda, penguasa Tidore ini kemudian mengekspansi bala pasukannya ke beberapa daerah di Maluku seperti Maluku Tenggara dan Geser (Pulau Seram). Saat itu, atraksi ini diperagakan pasukan Nuku di daerah-daerah tersebut, dan kemudian menjadi membudaya di masyarakat setempat.



SUMBER :