SUKU
TIDORE
1.1 ASAL MULA SEJARAH SUKU TIDORE
Tidore merupakan salah satu pulau yang
terdapat digugusan kepulauan Maluku.
Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang
berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi
Tidore yang memiliki gunung api, bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku yang
mereka namakan gunung Marijang.
Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif
lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan
Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado
re, artinya, “aku telah sampai”
dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore
yang berarti “kamu datang”. Penggabungan
dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi
di Tidore.
Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering
terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota
komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan.
Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk
mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan. Suatu ketika,
diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah
al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu,
di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan
menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu
Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan
yang disebut dengan Togorebo.
Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi
pemenang dan memimpin pertemuan.
Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai
ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang
pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole yang
bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan
menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator
juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan,
maka tidak ada yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin
adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata
Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado
re dan Thadore. Demikianlah,
kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah
kerajaan besar.
Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan
ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108
M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskansecara jelas lokasi pusat kerajaan
pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh dari
negeri Maghribi di Tidore.
Noh kemudian mempersunting seorang gadis
setempat, bernama Siti Nursafa. dari perkawinan tersebut, lahir empat orang
putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati (pendiri kerajaan Tidore), Darajati, (Pendiri kesultanan Moti), Kaicil Buka (Pendiri kesultanan Makian), Bab Mansur Malamo, (Pendiri kesultanan Ternate).
Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi (yang menurunkan
raja-raja Banggai), Boki Sadarnawi (yang
menurunkan raja-raja Tobungku), Boki
Sagarnawi (yang menurunkan raja-raja Loloda), dan Boki Cita Dewi (yang menurunkan Marsaoli dan Mardike). Kerajaan
Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk KieRaha, yang lainnya adalah
Ternate, Makian dan Moti.
Berdasarkan legenda asal usul di atas,
tampak bahwa empat kerajaan ini berasal
dari moyang yang
sama : Djafar Noh dan
Siti Nursafa. Terlepas dari benar
atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas
menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan
empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makiandan Moti),
sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul. Sejak
awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa
dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi
mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itu pun masih dalam perdebatan.
Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat
dalam menentukan dimana sebenarnya Balibungaini. Ada yang mengatakannya di
Utara Tidore, dan ada pula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore
selatan.
Pada
tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore
pertamayang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina.
Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan
dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru
ini berdekatan dengan Ternate dan diapit
oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. dengan keadaan laut yang indah dan tenang,
lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beranekaragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (JouKota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini. Pada abad ke-16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku termasuk Tidore untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beranekaragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (JouKota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini. Pada abad ke-16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku termasuk Tidore untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.
Sepeniggal
Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama yaitu ;
memonopolidan, menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah
perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan sukses melawan
Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805
M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari
seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan
tersebut membu ahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21
Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari
kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian
diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai
dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis.
Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi
kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial
Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik.
Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi
nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan
Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku
Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.
Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore.
Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak
berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.
1.2 BAHASA
SUKU TIDORE
Suku Tidore dengan populasi 26.000 berdiam di pulau Tidore. Pulau ini merupakan salah satu pulau dari banyak pulau di kepulauan Maluku. Secara administratif, pulau Tidore termasuk ke dalam wilayah kabupaten Halmahera Tengah, propinsi Maluku. Dengan Soa-siu sebagai kota kecamatan yang di dalamnya tinggal berbagai etnis. Sedangkan mayoritas penduduk di desa-desa adalah orang-orang Tidore asli. Diketahui telah ada 20 orang yang percaya Tuhan Yesus dari suku Tidore. Penduduk Maluku terdiri dari bermacam-macam suku yang diindikasikan dalam bahasa lokal yang masih aktif berjumlah 117 bahasa, dari jumlah yang pernah ada sebanyak 130-an bahasa lokal. Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah /dola bololo/ (semacam peribahasa atau pantun kilat), /dalil tifa/ (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), /kabata/ (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb).
Suku Tidore dengan populasi 26.000 berdiam di pulau Tidore. Pulau ini merupakan salah satu pulau dari banyak pulau di kepulauan Maluku. Secara administratif, pulau Tidore termasuk ke dalam wilayah kabupaten Halmahera Tengah, propinsi Maluku. Dengan Soa-siu sebagai kota kecamatan yang di dalamnya tinggal berbagai etnis. Sedangkan mayoritas penduduk di desa-desa adalah orang-orang Tidore asli. Diketahui telah ada 20 orang yang percaya Tuhan Yesus dari suku Tidore. Penduduk Maluku terdiri dari bermacam-macam suku yang diindikasikan dalam bahasa lokal yang masih aktif berjumlah 117 bahasa, dari jumlah yang pernah ada sebanyak 130-an bahasa lokal. Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah /dola bololo/ (semacam peribahasa atau pantun kilat), /dalil tifa/ (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), /kabata/ (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb).
Sebagian di antara sastra lisan ini disampaikan dan
dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sastra tulisan juga
cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan
manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta.
Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan
masyarakat secara individual. Di samping itu mereka juga dapat mengerti bahasa
Ternate yang sejak lama menjadi lingua france di kawasan Halmahera.
Para pengamat kebudayaan pernah membagi wilayah
Maluku Utara dan Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah kebudayaan.
Daerah-daerah tersebut adalah daerah kebudayaan Ternate, daerah kebudayaan
Tidore dan daerah kebudayaan Bacan. Daerah kebudayaan Tidore sendiri mencakup
kepulauan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Berikut adalah contoh kosa kata suku tidore :
1.3 SISTEM MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat
Tidore adalah bercocok-tanam, nelayan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri.
Berbagai jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan
ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala, kelapa dan coklat
adalah jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas andalan yang menjadi ciri
kepulauan Maluku. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal,
dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi
rebutan para kolonial kulit putih.
1.4 ORGANISASI SOSIAL
Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah.
- Periode Pemerintahan
- Struktur Pemerintahan
- Wilayah Kekuasaan
- Keturunan
1.5 KESENIAN
- Musik
Sawat adalah perpaduan dari
budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab
datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran
budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat,
seperti rebana dan seruling, yang mencirikan alat musik gurun pasir. Diluar
daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi.
Sejak dahulu pun, mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian
tradisional. Tak ayal bila sekarang, terdapat banyak penyanyi terkenal yang
lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda seperti Broery Pesoelima dan
Harvey Malaihollo. Belum lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti
Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena,
Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo serta penyanyi-penyanyimuda berbakat
seperti Glen Fredly, Ello Tahitu dan Moluccas.
- Tarian
1.6 SISTEM RELIGI
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan Kekristenan, dan pengaruh
Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Seiring dengan masuknya colonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang
sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya
di Tidore. Tidore pernah menjadi satu
kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan salah satu pusat
pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang tampak bahwa
mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling tidak sebuah mesjid atau surau.
Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin informal masyarakat Tidore. Masyarakat
di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam dikawasan kepulauan timur
Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam
tersimbol dalam ungkapan adat mereka : /Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah/ (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah).
Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan dengan garis
kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun,
tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan
menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting
mereka sebut /soa/. Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam,
masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara /Legu Gam Adat Negeri/, upacara
/Lufu Kie daera se Toloku/ (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat),
upacara /Ngam Fugo/, /Dola Gumi, JokoHale/ dan sebagainya.
Tradisi Hari Raya Idul Adha
Setiap hari ke sepuluh
bulan Djulhijah, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Hari Raya Idul Adha
atau disebut Idul Qurban. Setiap kali perayaan Idul Adha, ada sebuah tradisi
unik dan menarik di masyarakat Negeri (desa) Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten
Maluku Tengah. Ratusan pria, mulai dari anak-anak yang baru beranjak remaja
hingga orang dewasa berlari-lari dan berlompatan, saling injak hanya demi bisa
memegang sebuah bendera. Sebagian dari mereka bahkan tanpa rasa takut mencari
tempat yang tinggi dengan menaiki pagar maupun atap rumah dan kemudian melompat
ke tengah-tengah kerumunan massa, semata-mata ingin mencapai bendera yang
diperebutkan tadi. Sementara itu, sekelompok pemuda lainnya menusuk-nusuk
dadanya sendiri dengan paku besar yang berbentuk semacam mata tombak hingga
berdarah-darah. Mereka yang melakukan ini adalah kelompok lain yang jumlahnya
jauh lebih sedikit yakni tidak lebih dari 20 orang.
Kedua peristiwa ini adalah gambaran dari
atraksi abda’u dan dabus. Para pelakunya mengaku, saat memperagakannya mereka
tidak merasakan sakit. Atraksi yang bisa menimbulkan rasa nyilu bagi
penontonnya itu dilakukan masyarakat Tulehu, saat perayaan Idul Adha. Sudah
menjadi tradisi masyarakat Tulehu, setiap tahun saat Idul Adha melakukan
kegiatan bernuansa religius maupun adat yang dipusatkan di depan Mesjid Jamie
Tulehu. Selain kedua atraksi tadi, sejumlah atraksi lain juga menyemarakkan
suasana perayaan Idul Adha di desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam
itu. Ribuan warga Tulehu maupun dari negeri-negeri tetangga dan masyarakat
Ambon berdatangan memenuhi desa yang berjarak 24 kilometer dari Kota Ambon.
Tujuan kedatangan mereka tidak lain ingin menyaksikan ritual tahunan masyarakat
Tulehu saat Idul Adha. Acara diawali dengan penjemputan Raja Negeri Tulehu oleh
pasukan abda’u di kediaman raja. Saat penjemputan tersebut, raja memberikan
petuah kepada segenap pemuda yang akan menjadi pasukan abda’u untuk
mengingatkan kembali makna dari perayaan yang telah dilakukan sejak beratus
tahun yang lalu di negeri mereka.“Abda’u merupakan tradisi tahunan Negeri
Tulehu yang sangat kental akan nuansa agama, dan tradisi ini harus terus kita
peliara,” kata Raja Tulehu Jhon Ohorella. Usai memberikan petuah, raja bersama
imam mesjid Tulehu kemudian menyerahkan bendera berwarna hijau bertuliskan
kalimat tauhid kepada pasukan abda’u. Bendera ini setiap hari terpampang di
mimbar Mesjid Jamie Tulehu, dan hanya keluar saat abda’u.
Bendera ini yang akan
direbutkan pasukan abda’u saat atraksi nanti. Raja bersama imam masjid kemudian
di kawal pasukan abda’u, berjalan menuju panggung utama yang telah dinanti
sejumlah pejabat daerah baik dari provinsi maupun kabupaten. Serangkaian acara
peringatan Idul Adha dilakukan, diisi dengan pawai karnaval menghadirkan
berbagai atraksi budaya dan agama. Selain menampilkan atraksi abda’u dan dabus,
berbagai atraksi lain juga meramaikan diantaranya, rombongan penari dan
penyanyi hadrat, tari Patimura (tarian perang perjuangan Kapitan Patimura),
atraksi bambu gila, atraksi ilmu kebathinan (alfitrah) yang diperagakan
sekelompok pemuda memerankan tokoh wali songo, serta drama siswa sekolah dasar
yang menceritakan keteguhan Nabi Ismail saat akan dikorbankan ayahnya Nabi
Ibrahim atas petunjuk Allah, namun akhirnya diganti dengan seekor domba. Pawai karnaval
ini menyusuriruas jalan kampung sekitar 700 meter. Usai pawai karnaval, pasukan
abda’u kemudian bergegas menuju belakang Masjid JamieTulehu. Di tempat itu
kemudian dilakukan penyembelian tiga ekor kambing yang turut dibawa serta dalam
pawai. Darah hasil penyembelian kambing diperebutkan pasukan abda’udan dilumuri
di sekujur tubuh mereka karena diyakini bisa menghilangkan rasa sakit dan capek
setelah melakukan abda’u. Sebagian besar dari mereka juga yakin, darah kambing
itu bisa membuat tubuh mereka bertambah kuat. Karena terbatasnya darah kambing,
ratusan orang yang menjadi peserta abda’u saling rebut demi mendapatnya. Saking
terbatasnya, sampai-sampai kain putih yang dipakai selama abda’u dilumuri darah
untuk kemudian diusap ke tubuh dan wajah mereka secara bergantian dengan rekan
mereka yang lain. Menurut tokoh masyarakat Tulehu Mochtar Ohorella (60), abda’u
adalah atraksi pemuda yang menceritakan sejarah kemenangan Islam saat
mengalahkan tentara Kafir Qurais di tanah Arab. Para pemuda yang melompat-lompat
dan berusaha memegang bendera bertuliskan kalimat tauhid itu menggambarkan
mereka sedang bersuka cita setelah memperoleh kemenangan.
Meskipun saat ini tidak
ada penjelasan resmi asal muasal abda’u, namun tradisi ini sudah menjadi bagian
dari budaya masyarakat Tulehu saat merayakan Idul Adha. Sedangkan atraksidabus,
masih menurut Sandia, merupakan tradisi kaum Syiah di Iran yang diadopsi oleh
sebagian masyarakat muslim di Maluku. Di Maluku sendiri, lanjut dia, tradisi
dabus dibawa dari Kerajaan Islam Tidore di Maluku Utara. Saat perlawanan Sutan
Nuku melawan Belanda, penguasa Tidore ini kemudian mengekspansi bala pasukannya
ke beberapa daerah di Maluku seperti Maluku Tenggara dan Geser (Pulau Seram).
Saat itu, atraksi ini diperagakan pasukan Nuku di daerah-daerah tersebut, dan
kemudian menjadi membudaya di masyarakat setempat.
SUMBER :